Most Post

Perkembangan Pondok Pesantren Suryalaya

Perkembangan Pondok Pesantren Suryalaya                 Masa KH Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh).                 Riwayat...

Kamis, 18 Agustus 2011

Tasawuf


بسم الله الرحمن الرحيم

TASAWUF

            Arti tasauf secara etimologis diperselisihkan oleh para ahli, karena perbedaan mereka dalam memandang asal usul kata itu.

Asal usul kata tasauf :

Asal usul kata tasauf menurut para ahli sebagai berikut:
1.      Tasauf berasal dari kata saff yang artinya barisan dalam shalat berjamaah. Alasannya seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih dan selalu memilih saf terdepan dalam shalat berjamaah. Disamping alasan itu mereka juga memandang bahwa seorang sufi akan dibaris pertama didepan Allah SWT.
2.      Tasauf berasal dari kata saufanah, yaitu sejenis buah-buahan berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini karena melihat orang-orang sufi banyak memakai pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan fisik, tetapi subur batinnya.

3.      Tasauf berasal dari kata suffah yang artinya pelan yang dipergunakan oleh para sahabat Nabi saw yang miskin untuk bantal tidur diatas bangku batu disamping Mesjid Nabawi di Madinah. Versi lain dikatakan bahwa suffah artinya suatu kamar disamping Mesjid Nabawi yang disediakan untuk para sahabat Nabi saw dari golongan Muhajirin yang miskin Penghuni suffah ini disebut ahlus suffah. Mereka mempunya sifat-sifat teguh dalam pendirian, taqwa, wara’ (taqwa’at kepada Allah swt), zuhud, dan tekun beribadah. Adapun pengambilan kata suffah karena kemiripan tabi’at mereka dengan sifat-sifat ahlu suffah.

4.      Tasauf (sufi) merujuk pada kata Safwah yang berarti sesuatu yang terpilih atau terbaik. Dikatakan demikian karena seorang sufi biasa memandang diri mereka sebagai orang pilihan atau orang terbaik.

5.      Tasauf merujuk pada kata sof atau sofw yang artinya bersih atau suci. Maksudnya, kehidupan seorang sufi lebih banyak diarahkan pada penyucian batin untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, Tuha Yang Maha Suci, serta Tuhan tidak bisa didekati kecuali oleh orang yang suci.

6.      Tasauf berasal dari bahasa Yunani, yaitu theosphi (theo = Tuhan ; sophos = hikmat), yang berarti hikmat ketuhanan. Mereka merujuk pada bahasa Yunani karena ajaran tasauf banyak membicarakan masalah ketuhanan.

7.      Tasauf berasal dari kata suf yang artinya wol atau kain bulu kasar. Disebut demikian karena orang sufi banyak yang suka memakai pakian yang terbuat dari bulu binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan pakaian sutera yang biasa dipakai oleh orang-orang kaya.

Abu Nashor Al Saroj Al Tusy tokoh fundamentakis tasauf, mengatakan bahwa kebiasaan memakai kain wol kasar adalah kebiasaan para Nabi dan orang-orang saleh sekaligus sebagai lambang kesederhanaan dan kemiskinan

Definisi Tasauf

            Adapun tentang definisi tasauf (sufi) itu sendiri ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh sejumlah tokoh sufi. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :

1.      Bisyr bin Harts. Mengatakan bahwa sufi orang yang suci hatinya menghadap Allah swt.
2.     Sahl at Tustary. Mengatakan bahwa sufi ialah orang yang bersih dari kekeruhan, penuh dengan renungan, putus hubungan dalam menghadap Allah swt dan baginya tiada beda antara harga emas dan pasir.
3.     Al Junaid Al Bagdady ( wafat 289 H ) tokoh sufi modern, mengatakan bahwa tasauf adalah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang fitri, menekan sifat basyariyah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberi tempat bagi sifat-sifat kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji kepada Allah swt dan mengikuti syari’at Rasulullah saw.

4.     Abu Qasim Abdul Karim al Qusyairy, memberikan definisi bahwa tasauf ialah menjabarkan ajaran-ajaran Al Qur’an dan Al sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sakap meringan-ringankan ibadah.

5.     Abu Yazid Al Bustomy secara lebih luas mengatakan bahwa arti tasauf mencakup tiga aspek, yaitu kha (melepaskan diri dari perangai yang tercela), ha (menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji), dan jim (mendekatkan diri kepada Tuhan)

6.      Ma’ruf al karkhi (wafat 200 H) mengatakan bahwa tasauf ialah mengambil hakikat dan tidak tamak dari apa yang ada dalam genggaman tangan makhluk.

Dari beberapa definisi tersebut Zakariya al Anshory, penulis tasauf (852-925 H) mencoba meringkaskannya, yaitu: Tasauf mengajarkan cara untuk menyucikan diri, meningkatkan akhlak dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kebahagiaan abadi. Unsur utama tasauf adalah penyucian dari dan tujuan akhirnya kebahagiaan dan keselamatan abadi. Definisi yang dikemukakan Al Anshory oleh sebagian peneliti dipandang sebagai hal yang bertentangan dengan prinsip ajaran tasauf itu sendiri. Sebab bagi sebagian sufi tujuan tasauf bukanlah untuk mendapat balas jasa berupa kebahagiaan abadi, tetapi pengabdian itu semata-mata ikhlas karena Allah swt. Yang mereka harapkan hanya ingin bertemu dengan Allah swt yang selalu dirindukan, terlihat dalam berbagai pernyataan Rabi’ah Adawiyah. Adapun definisi tasauf menurut peneliti sabagai berikut :

Ahmad Amin, peneliti tasawuf, berdasarkan realitas kehidupan para sufi mencoba merumuskan definisi tasauf sebagai berikut: Tasauf ialah bertekun dalam beribadah, berhubungan langsung dengan Allah, menjauh diri dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang diburu oleh orang banyak (seperti kelezatan dan harta benda) dan menghindari diri dari makhluk didalam khalwat (pengasingan diri) untuk beribadah.

            Rumusan Ahmad Amin ini bertentangan dengan pendapat al Junaed. Bagi Al Junaed khalwat itu tidaklah penting dalam tasauf, justru yang lebih ditekankan agar para sufi dapat memberikan nasihat kepada umat. Oleh sebab itu Anne Marie Schimmel, seorang sejarawan dan dosen tasauf pada Harward University, mengatakan bahwa sulit mendefinisikan tasauf itu secara lengkap, karena kita hanya dapat menyentuh salah satu sudutnya saja. Definisi-definisi tersebut hanya dapat menjadi petunjuk awal untuk menyelaminya lebih lanjut.


Ciri-ciri umum tasauf

            Karena sulitnya memberikan definisi yang lengkap tentang tasauf, maka Abu Al Wafa Al Gonimi Al Taftazani (peneliti tasauf tidak merumuskan definisi tasauf dalam bukunya Madkhal ila Attasuf al Islami pengantar ke tasauf Islam). Ini hanya memperbincangkan karakteristik tasauf secara umum. Baginya tasauf mempunyai 5 ciri umum yaitu: 1. memiliki nilai-nilai moral, 2. pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak, 3. Pengetahuan intuitip langsung, 4. Timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah swt dalam diri sufi karena tercapainya makomat (makom-makom atau beberapa tingkatan), dan 5. Penggunaan simbol-simbol pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiyah yang tersirat.

            Berdasarkan ciri-ciri umum tasauf tersebut, kelihatan adanya persamaan antara tasauf Islam dan mistisisme dalam agama-agama lain. Reynold Alleyne Nicholson, sejarawan dan ahli mistisisme dalam Islam, cenderung mengatakan bahwa tasauf Islam (sufisme; menurut ungkapan bahasa eropa ) tidaklah murni berdasarkan dari ajaran islam, tetapi banyak mengambil dari para sufi agama lain. Selanjutnya ia memandang bahwa tasauf Islam dipengaruhi oleh agama Nasrani ia menunjuk para kehidupan sufi yang zuhud, senang pada kesenian, suka memakai dari pakaian bulu domba, banyak berdzikir dll. Hal ini mempunyai kesamaan dengan ajaran nasrani. Oleh karena itu Nicholson berpendapat bahwa ajaran-ajaran tersebut berakar dari ajaran agama Nasrani.

            Disisi lain Nicholson melihat pula adanya pengaruh Neoplatonisme dalam ajaran tasauf. Hal ini disebabkan oleh kontak antara Arab dan Yunani, sehingga ajaran Neoplatonisme tersebar didunia Arab. Ajaran tersebut mempengaruhi sebagian pemikir Islam. Dengan demikian masuklah ajaran emanasi (pancaran), iluminasi (penerangan), gmosis (pengetahuan religius) dan ekstase (diluar kesadaran diri) ke dalam tasauf. Lebih jauh lagi ia melihat bahwa gnotisisme (gerakan yang menunjukan sistem pemikiran religi yang terdiri atas unsur kafir, Yahudi, dan Kristen). Nasrani mempengaruhi pula segbagian sufi. Selanjutnya ia melihat dibagian timur dunia Islam ada agama Budha yang ajarannya mirip dengan tasauf Islam. Ia menunjuk bahwa faham nirwana dalam agama budha mirif dengan ajaran fana dalam tasauf.

            Akan tetapi dari hasil penelitian selanjutnya Nicholson ternyata membatalkan pendapatnya yang mengatakan bahwa tasauf Islam tidaklah murni berasal dari ajaran Islam, tetapi banyak mengambil dari para sufi agama lain. Kemudian ia berpendapat bahwa kehidupan kerohanian sufi mempunyai sumber yang kaya dari Islam itu sendiri. Menurut pendapatnya untuk menggambarkan tasauf itu secara lengkap harus dilihat perkembangan itu sendiri. Dengan melihat perkembangannya maka jelas kelihatan warna tasauf itu dalam setiap periode yang dilaluinya. Sebagai contoh, cikal bakal tasauf itu hanya mengambil bentuk zuhud tetapi dalam periode berikutnya, tasauf telah tampak dalam bentuk kajian-kajian kerohanian yang mendalam sebagai hasil dari perkembangan pemikiran Islam.

Bagi Harun Nasution, teori-teori yang mengatakan bahwa ajaran tasauf dipengaruhi unsur asing sulit dibuktikan kebenarannya. Karena dalam ajaran islam sendiri terdapat ayat-ayat dalam Al Qur’an dan Hadits-hadits yang menggambarkan dekatnya manusia dengan Tuhan. Diantaranya surat Al Baqaroh ayat 186 :

وَاِذَاْ سَألَكَ عِبَادِى عَنِّى فَاِنِّي قَرِيْب أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاْعِ اِذَا دَعَانِ

”dan apabila hamba-hamba Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasannya Aku adalah dekat Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo’a kepadaku “.

 Dalam ayat lain disebutkan pula surat Al Baqoroh ayat 115 :

وَلِلَّهِ المَشْرِقُ وَالمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوِلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ اِنَّ اللهَ وَاْسِعٌ عَلِيْمْ           

“Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah.Sesungguhnya Allah maha luas (rahmatNya) lagi Maha Mengetahui”.

             Disebutkan pula dalam surat Qof ayat 16 :

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الاِنْسَاْنَ وَنَعْلَمُ مَاْ تُوَ سْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ  اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الوَرِيدْ

“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”.

            Dalam hadits Qudsi (hadits yang maksudnya berasal dari Allah swt, lafadnya dari Nabi) disebutkan bahwa Allah swt berfirman: Barang siapa yang memusuhi seseorang waliKu, maka Aku mengumumkan permusuhanKu terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hambaKu kepadaKu yang lebih kusukai dari pada pengamalan yang fardukan atasnya. Kemmudian hambaku yang senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan melaksanakan amal-amal sunah, maka aku senantiasa mencintainya. Bila aku telah cinta kepadaNya, jadilah aku pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku penglihatannya yang dengannya ia melihat, Aku tangannya yang dengannya ia memukul, dan Aku kakinya yang dengan kakinya ia berjalan. Bila ia memohon kepadaku Aku perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi. (hadits riwayat Bukhori).

Jenis-jenis Tasauf.

1. Tasauf Akhlaki.
            Adalah jenis tasauf yang berorientasi pada teori perilaku kemudian sering disebut sebagai tasauf akhlaqi. Tasauf jenis ini ada yang menyebutnya sebagai tasauf yang banyak dikembangkan kaum salaf.

2. Tasauf Sunni
            Yaitu bentuk tasauf yang memagari dirinya dengan Al Qur’an dan Al Hadits secara ketat, serta mengkaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkatan rohaniah) mereka kepada dua sumber tersebut. Tasauf Sunni yang terus berkembang semenjak zaman klasik islam hingga zaman modern sekarang sering digandrungi orang karena penampilan paham atau ajaran-ajarannya yang tidak terlalu rumit. Tasauf jenis ini banyak berkembang di dunia islam, terutama di negara-negara dominan bermadzhab Syafi’i.

            Adapun ciri-ciri Tasauf Sunni antara lain :

1.      Melandaskan diri pada Al qur’an dan al sunnah. Tasauf jenis ini, dalam pengeja wantahan ajaran-ajarannya, cenderung memakai landasan Qur’an dan Hadits seba gai kerangka pendekatannya. Mereka tidak mau menerjunkan pahamnya pada kon teks yang berada di luar pembahasan Al Qur’an dan hadits.
Al Qur’an dan Hadits yang mereka pahami, kalaupun harus ada penafsiran, maka penafsiran itu sifatnya hanya sekedarnya dan tidak begitu mendalam.

2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan syathahat. Terminologi-terminologi dikembangkan tasauf Sunni lebih transparan, sehingga tidak kerap bergelut dengan term-term syathahat. Kalaupun ada term yang mirip syathahat, itu dianggapnya merupakan pengalaman pribadi, dan mereka tidak menyebarkannya kepada orang lain. Pengalaman yang ditemukannya itu mereka anggap pula sebagai sebuah karamah atau keajaiban yang mereka temui. Sejalan dengan ini, Ibnu Khaldun, sebaimana dikutif al Taftazani, memuji para pengikut al-Qusyairi yang beraliran Sunni, karena dalam aspek ini mereka memang meneladani para sahabat. Pada diri para sahabat dan tokoh angkatan salaf telah banyak tejadi kekeramatan seperti ini.

3. Lebih bersifat mengajar dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksudkan disini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, tetapi hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda diantara keduanya, dalam hal esensinya. Sedekat apapun manusia dengan Tuhannya tidak pantas manusia menyatu dengan Tuhan.

Al Qur’an dan Hadits dengan jelas menyebutkan bahwa “inti” makhluk adalah “bentuk lain” dari Allah. Hubungan antara sang pencipta dan yang diciptakan bukanlah merupakan salah satu persamaan, tetapi “bentuk lain”. Benda yang diciptakan adalah bentuk lain dari penciptaannya. Hal ini tentunya berbeda dengan paham-paham tasauf filosofis yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan kegan jilannya.Kaum sufi Sunni menolak ungkapan-ungkapan ganjil seperti yang dikemu kakan Abu Yazid Al Busthami dengan teori Fana’ dan baqa-nya, Al Hallaj dengan konsep hululnya, dan ibnu arabi dengan konsep wahdatul wujud-nya.    
           
4.  Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at. Dalam pengertian lebih khusus, keterkaitan antara tasauf (sebagai aspek batiniyah-nya) dengan fiqih (sebagai aspek lahirnya). Hal ini merupakan konsekwensi dari paham diatas. Karena berbeda dengan Tuhan, manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhantetap pada posisi atau kedudukannya sebagai objek penerima informasi dari Tuhan. Kaum sufi dari kalangan Sunni tetap memandang pentingpersoalan-persoalan lahiriyah-formal, seperti aturan-aturan yang dianut fuqaha. Aturan-aturan itu bahkan sering dinggap sebagai jembatan untuk berhubungan dengan Tuhan.

5.  Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli dan tajalli.

3.     Tasauf falsafi

            Adalah tasauf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasauf akhlaqi, tasauf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi filsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.

            Tasauf filosofis ini mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Namun, sejak itu tasauf jenis ini terus hidup dan berkembang.

            Pemaduan antara tasauf dan filsafat dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasauf filosofis bercampur dengan sejumlah ajaran-ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Namun, orisinalitasnya sebagai tasauf tetap tidak hilang, karena para tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran-ajarannya, terutama bila dikatkan dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam.

Sikap ini dengan sendirinya dapat menjawab pertanyaan kenapa para tokoh tasauf filosofis begitu gigih mengkompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam kedalam tasauf mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat yang maknanya telah disesuaikan dengan ajaran-ajaran tasauf yang mereka anut.

            Para sufi yang juga filosofis pendiri aliran tasauf filosofis mengenal dengan baik filsafat Yunani serta berbagai alirannya, misalnya Socrates, Plato, Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran Neo-Platonisme. Bahkan mereka pun cukup akrab dengan filsafat yang sering kali disebut Hermetisme, yang karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa arab, dan filsafat-filsafat Timur Kuno baik dari Persia maupun India, serta menelaah filsafat-filsafat para filosof muslim, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan lain-lain. Mereka pun dipengaruhi aliran batiniyah sekte Isma’iliyyah dari aliran Syi’ah dan risalah-risalah Ikhwan al-Shafa. Disamping itu, mereka memiliki pemahaman yang luas di bidang ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, kalam, hadits, serta tafsir. Jelasnya, mereka bercorak ensiklo pedis dan berlatar belakang budaya yang bermacam-macam.

            Karakteristik tasauf filosofis secara umum ialah kesamar-samaran ajarannya akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami mereka yang memahami ajaran tasauf jenis ini. Selanjutnya tasauf filosofis tidak dapat dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan sebaliknya tidak pula dapat dikategorikan sebagai tasauf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering di ungkapkan dalam bahasa dan terminologi filsafat, dan berke cenderungan mendalam pada panteisme.

            Berdasarkan pada karekteristik umum itu, tasauf filosofis memiliki objek tersend iri yang berbeda dengan tasauf Sunni. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun, sebagaimana yang dikutif oleh Taftazani, dalam karyanya al-Muqaddimah, menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, antara lain yaitu

             Pertama, latihan ruhaniah dengan rasa, intuisi, serta intropeksi diri yang timbul darinya. Mengenai latihan ruhaniah dengan tahapan (maqam) maupun keadaan (hal) rohaniah serta rasa (dzauq), para sufi filosof cenderung sependapat dengan para sufi Sunni. Sebab, masalah tersebut, menurut Ibnu Khaldun, merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh siapa pun.

            Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib, seperti sifat-sifat rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, ruh, hakikat realitas segala yang wujud, yang ghaib maupun yang tampak, dfan susunan kosmos, terutama tentang Penciptanya serta penciptaannya. Mengenai ilmuniasi ini, para sufi yang juga filosof tersebut melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan dzikir. Dengan dzikir, jata mereka, jiwa bisa memahami hakikat realitas-realitas.

Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
Keempat, penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathahiyyat), yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujui, ataupun menginterpretasikannya dengan interpretasi-inter pretasi yang berbeda-beda.
Selain karakteristik umum di atas, tasauf filosofis mempunyai beberapa karek  teristik secara khusus, di antaranya :

Pertama, tasauf filosofis banyak mengkonsepsikan pemahaman ajaran-ajarannya dengan menggabungkan antara pemikiran rasional-filosofis dengan perasaan (dzauq). Kendatipun demikian, tasauf jenis ini juga sering mendasarkan pemikirannya dengan mengambil sumber-sumber naqliyah, tetapi dengn interpretasi dan ungkapan yang samar-samar dan sulit difahami orang lain.

Kalaupun dapat diinterpretasikan orang lain, interpretasi itu cenderung kurang tepat dan lebih bersifat subyektif.

Kedua, seperti halnya tasauf jenis lain, tasauf filosofis didasarkan pada latihan-latihan ruhaniah (riyadah), yang dimaksudkan sebagai peningkatan moral, yakni untuk mencapai kebahagiaan.

Ketiga, tasauf filosofis memandang ilumunasi sebagai metode untuk mengetahui berbagai hakikat realitas, yang menurut penganutnya bisa dicapai dengan fana.

Keempat, para penganut tasauf filosofis ini selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakikat realitas-realitas dengan berbagai simbol atau terminologi.

Perlu dicatat, dalam beberapa segi para sufi-filosofis ini melebihi para sufi
Sunni. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, mereka adalah para teoritisi yang baik tentang wujud, sebagaimana terlihat dalam karya-karya atau puisi-puisi mereka. Untuk yang satu ini mereka tidak menggunakan ungkapan-ungkapan syathahiyyat. Kedua, kelihaian mereka menggunakan simbol-simbol, sehingga ajarannya tidak begitu saja dapat dipahami orang lain di luar mereka. Ketiga, kesiapan mereka yang sungguh-sungguh terhadap diri sendiri ataupun ilmu-ilmunya.
Sumber : . M. Solihin, 
     Ensi.  

Maqomaat /Tingkatan Perjalanan  Tasauf

Sesuai dengan kodratnya yang terdalam, manusia senantiasa berhasrat mendekatkan diri kepada Allah swt. Untuk itu Allah pun berkenaan menunjukkan kepadanya jalan yang akan ditempuhnya untuk dekat kembali kepadaNya .Jalan untuk menempuh itu, menurut ajaran tasauf berupa torekat.

Sufi itu calon sufi dengan bimbingan seorang  syekh mursyid (guru torekat) se-cara berangsur-angsur melalui maqomaat dan keadaan mental (ahwal), yang akhirnya sampai dekat kepada Allah swt  sedekat dekatnya.

Dalam menentukan maqomaat  itu kitab-kitab tasauf tidak memberikan angka dan susunan yang sama. Oleh karena itu pendapat beberapa ahli berbeda dan adapun pendapat mereka tersebut adalah sebagai berikut :
Abu Said bin Ali al Khair.

            Beliau salah seorang sufi abad ke 4 H mengatakan  bahwa maqomat itu adalah banyak sekali , diantaranya  yaitu :
1.      Niat , 2. Inabat (penyesalan), 3. taubat. 4. Irodat (kendali diri), 5. Mujahadah ( perjuangan batin), 6. Muroqobat (mawas diri), 7. Sabar, 8. Dzikir, 9. Rido,10. Mukholafatun nafs (melawan hawa nafsu), 11. Mufakaat, 12. Taslim (penyerahan), 13.  Tawakal, 14. Zuhud, 15. Ibadah,16. Waro’ (menjauhi diri dari yang tak halal), 17. Ikhlash, 18. Shidiq (benar jujur), 19. Al Khauf (takut atas kemurkaan  Allah swt), 20. Roja (mengharapkan rahmat Allah swt), 21. Fana (peleburan diri), 22. Baqo (hidup kekal), 23. ’Ilmul Yaqin (ilmu yakin), 24  Haqqul Yaqin (benar-benar yakin), 25. Ma’rifat atau mengenal, 26. Juhud (usaha keras), 27. Wilayah (kewalian), 28.  Mahabbah atau cinta, 29. Wijd (extase), 30 Qurb (kedekatan), 31. Tafakur (perenungan), 32. Wishol (kontak atau hubungan), 33. Kasyf (tersingkapnya hijab atau dinding yang membatasi hati manusiadan Allah swt), 34. Hidmat (pelayanan), 35. Tajrid atau Tajarrud (pembersihan diri),36. Tafrid (kesendirian), 37. Inbisat (perluasan), 38. Tahqiq (penentuan kebenaran), 39. Nihayah (tujuan akhir yang luhur), dan 40. Tasauf.

            Abu bakar al kalabazi.

            -Beliau menyebutkan bahwa maqam ada 10 yaitu : 1. taubat, 2. zuhud, 3. sabar, 4. fakir (miskin), 5. tawadu’(rendah diri), 6. taqwa, 7. tawakal, 8. rido, 9. mahabbah (cinta), 10. ma’rifat.
Abu Nasr as Sarraj at Tusi (sufi da tokoh fundamentalis tasauf)

-Dalam bukunya Kitab Alluma’ (bekal hidup) menyebutkan hanya tujuh maqam, yaitu : 1. taubat, 2. wara’, 3. zuhud, 4. fakir, 5. sabar, 6. tawakal, 7. rido.

Diantara perjalanan beberapa maqom yang dilalui, seorang sufi tidak jarang mendapat mauhibah ( karunia) dari Tuhan yang disebut dengan hal (jamaknya ahwal). Hal adalah keadaan mental yang diperoleh oleh seorang sufi dari Tuhannya, seperti perasaan senang, sedih, gembira, dan takut yang sifatnya sementara. Sedangkan maqom dicapai oleh seorang sufi melalui usaha dan sifatnya tahan lama.

            Pada dasarnya pendapat para ahli tersebut tidak jauh berbeda. Adanya perbedaan jumlah maqom dan susunannya disebabkan karena perbedaan interpretasi mereka dalam menterjemahkannya kedalam ungkapan atau tulisan.

            Dari maqomat diatas kelihatan bahwa ujung perjalanan sufi ialah berada sedekat-dekatnya disisi Allah swt. Akan tetapi oleh sebagian sufi pada abad ke 3 H, maqomat tersebut ditambahkan dengan istilah “penyatuan diri” dengan Tuhan. Memang pada mulanya sufi ingin berada sedekat mungkin dengan Tuhan sebagai Maha Kekasihnya. Namun oleh sufi abad ke 3 H tersebut, ketika filsafat telah berkembang di dunia Islam, mereka mulai merancang teori fana, baqo, ittihad, dan hulul. Kemudian mencapai puncaknya pada wahdatul wujud yakni pada abad ke 6 H.

            Selak abad ke 3 H kajian tasauf sudah mulai terpecah menjadi 2 aliran. Pertama aliran sufi Sunni, yang cenderung menyorot tasauf dari sudut moral dam amal syare’at yang didasarkan pada Al Qur’an dan Sunnah. Kedua aliran Fana dan kajian metafisis, oleh sebab itu disebut sebagai tasauf falsify.

Sumber : 1. Ensi.
   2. Al Kalabadhi.
         3. Al Qusyairi.      

Cikal bakal tasauf.

Benih benih tasauf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi saw, hal ini dapat dilihat dalam prilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah  pribadi Nabi saw.

            Peristiwa dan perilaku hidup Nabi saw. sebelum diangkat menjadi Rosul berhari-hari beliau berhalwat di Gua Hiro, terutama di bulan ramadhan. Disana Nabi saw banyak berdzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Pengasingan diri Nabi saw di Gua Hiro ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat.

            Kemudian puncak kedekatan Nabi saw dengan Allah swt tercapai ketika melakukan isra mi’raj. Didalam isra mi’raj itu Nabi saw telah sampai ke Sidrotul Muntaha (tempat terakhir yang dicapai Nabi saw ketika mi’raj ke langit ketujuh), bahkan telah sampai ke hadirat illahi dan sempat berdialog dengan Allah swt. Dialog itu terjadi berulang kali, dimulai ketika Nabi saw menerima perintah dari Allah swt tentang kewajiban shalat 50 kali sehari semalam. Atas usul Nabi Musa as, Nabi saw memohon agar jumlahnya diringankan dengan alas dan bahwa umatnya nanti tidak akan mampu melaksanakannya. Kemudian Nabi Muhammad saw terus berdialog dengan Allah swt. Keadaan demikian merupakan benih-benih yang menumbuhkan sufisme di kemudian hari.
            Peri kehidupan (sirah) Nabi saw juga merupakan benih-benih tasauf, yaitu pribadi Nabi saw yang sederhana zuhud, dan tidak pernah terpesona oleh kemewahan dunia. Dalam salah satu do’anya ia bermohon : “Wahai Allah hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin” (HR Tirmidzy, Ibn Majah dan Al Hakim).

Pada suatu waktu Nabi saw datang ke rumah istrinya Aisah binti Abi Bakar Shidiq ternyata dirumahnya tidak ada makanan. Keadaan seperti itu diterimanya dengan sabar, lalu ia menahan laparnya dengan berpuasa (HR Abu Daud, Tirmidzi, Al Nasa I). Oleh sebab itu Muhammad Husen Haikal (Mesir, 20 Agustus 1888 – 8 Desember1956), seorang sastrawan dan politikus Mesir banyak menulis Biografi, menulis di dalam bukunya, Hayatu Muhammad (sejarah hidup Muhammad) bahwa hidup sederhana yang dilakukan oleh Nabi saw bukanlah suatu kewajiban agama tetapi dengan cara itulah ia memberikan teladan tentang ketangguhan mental yang tidak lemah.

By Abu Bakar Bin Ahmad Mansor
(S.Kom.I., C.St., CH., CHt., NNLP.,)