Bai’at.
Bai’at artinya ikrar janji setia seseorang kepada seorang pimpinannya, baik pemimpin politik maupun lainnya. Bai’at adalah bahasa Arab yang aslinya dari kata بَاعَ يَبِيْعُ بَيْعا ً yang artinya menjual. Dari akar kata tersebut diketahui bahwa kata bai’at pada mulanya dimaksudkan sebagai pertanda kesepakatan atas suatu transaksi jual beli antara dua pihak. Kesepakatan itu biasanya dilakukan dengan berjabatan tangan. Istilah ini kemudian berkembang sebagai ungkapan bagi kesepakatan terhadap suatu perjanjian antara dua pihak secara umum.
Pada zaman awal pemerintahan Islam pengertian bai’at berkembang menjadi kesepakatan politik atau kontrak sosial antar seorang pemimpin atau khalifah dan rakyatnya. Dengan demikian pemberi bai’at, dalam hal ini rakyat berjanji untuk melakukan apa saja bagi kepentingan pemimpin yang dibai’atnya, demikian pula sebaliknya, pemimpin tersebut dengan baia’at yang diterimanya berjanji akan melakukan segala sesuatu untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu bai’at terhadap seorang khalifah biasanya dilakukan dengan menjabat tangannya sebagai pertanda kesetiaan kepadanya.
Pada masa Nabi Muhammad saw bai’at yang dilakukan kaum muslimin kepadanya lebih bersifat ikrar janji biasa untuk tetap membela Islam ,tanpa mempunyai ikatan yang bersifat politis tertentu. Bai’at-bai’at tersebut adalah bai’at ‘aqobah pertama, bai’at aqobah kedua dan Bai’atur Ridwan. Bai’at aqobah pertama dan kedua adalah bai’at yang dilakukan oleh kaum anshor di Makkah, sedangkan Bai’atur Ridwan adalah bai’at yang dilakukan kaum muslimin ketika terjadi Gozwah Hudaibiyah (suatu peperangan yang dipimpin lengsung oleh Rasulullah saw). Bai’at ini disebut Bai’atur Ridwan yang artinya Bai’at yang diridoi Allah swt karena dalam surat Al Fath ayat 18 dikatakan bahwa Allah swt rido terhadap mereka yang melakukan bai’at tersebut .
لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ المُؤْمِنِيْنَ اِذْ يُبَاْيِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِى قُلُوْبِهِمْ
فَاَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَيْهِمْ وَاَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيْبٍا
“Sesungguhnya Allah telah rido terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu dibawah pohon, maka Allah mengetaui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya (kemenangan pada perang Haibar)”.
Asbab nuzul ayat ini adalah :
Pada bulan Dzulhijjah tahun 6 H, Nabi saw beserta pengikutnya hendak mengunjungi Makkah untuk melakukan Umrah, dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Usman bin Affan lebih dahulu ke Makkah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kaum muslimin. Nabi dan para sahabat menanti-nanti kembalinya Usman, tetapi tidak juga kunjung datang karena Usman ditahan oleh kaum musyrikin, kemudian tersiar lagi berita bahwa Usman telah dibunuh.Karena itu Nabi saw menganjurkan kaum muslimin melakukan bai’at (janji setia) kepada beliau. Merekapun mengadakan janji setia kepada beliau dan mereka akan memerangi kaum Quraisy bersama Nabi saw sampai kemenangan tercapai.
Perjanjian setia ini telah diridoi Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat Al Fath. Karena itu disebut Bai’atur Ridwan, Bai’atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin sehingga mereka melepaskan Usman dan mengirim utusan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin, dan perjanjian ini terkenal dengan nama Sulhul Hudaibiyah.
Dalam surat yang sama di ayat 10 Allah menerangkan sbb:
اِنَّ الذِّيْنَ يُبَاْيِعُوْنَكَ اِنَّمَا يُبَاْيِعُوْنَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَاِنَّمَاْ يَنْكُثُ
عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ اَوْفَى بِمَاْ عَهَدَ عَلِيْهِ اللهُ فَسَيُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah . Tangan Allah diatas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri , dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberikan pahala yang besar”.
Orang yang janji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasulullah saw ialah meletakkan tangan Rasul diatas tangan yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah diatas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakan-akan tangan Allah diatas tangan orang yang berjanji itu. Hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluk-Nya.
Didalam Muftahus Shudur diterangkan bahwa sekelompok kaum yang berjanji setia menyebut nama Allah, dan mereka hanya untuk itu, mereka nanti akan di panggil dari langit dengan ucapan “ bangkitlah kalian, dan kalian telah Ku ampuni kesalahanmu / kejelekanmu telah kutukar dengan kebaikan” Allah berfirman Qur’an surat At Taubat ayat 111 :
وَمَنْ اَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللهِ فَاسْتَبْشِرُواْ بِبَيْعِكُمُ الذِّىْ بَاْيَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الفَوْزُ العَظِيمُ
“Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?. Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, danitulah kemenangan yang besar”.
Setelah Nabi Muhammad wafat, yaitu dimulai pada sa’at bai’at terhadap khalifah pertama Abu Bakar As Shiddiq ( berkuasa 632 H –634 H) hingga sesudah mnasa khalifah Abbasiyah, pengertian bai’at berkembang menjadi ikrar politik. Dengan demikian bai’at identik dengan pengakuan dan ikrar janji setia seorang muslim terhadap seorang khalifah baik secara sukarela maupun terpaksa.
Dalam doktrin Khilafah (kehalifahan ) menurut Sunni bai’at merupakan salah satu cara bagi sahnya jabatan khalifah seseorang. Akan tetapi terjadi perselisihan dikalangan para pemikir Sunni mengenai kriteria, syarat dan jumlah para pemberi bai’at itu. Sebagian mengatakan bahwa bai’at itu cukup dilakukan oleh seorang sesepuh masyarakat atau Ahlul halli wal ‘aqdi (sekelompok pemuka masyarakat muslim yang dianggap layak untuk mengangkat atau menurunkan seorang khalifah), dan sebagian lainnya mengatakan bahwa bai’at harus dilakukan oleh lebih dari seorang sesepuh masyarakat. Selain itu seorang muslim yang telah memberikan bai’at kepada bai’at maka Khalifah maka khalifah wajib patuh kepadanya dan tidak boleh membantah atau menentangnya.
Dan perkembangan selanjutnya, yaitu setelah runtuhnya system khilafah dari panggung politik Islam, bai’at lebih banyak digunakan dalam pengertian ikrar janji kepatuhan pada Islam secara umum atau atau melalui seorang seperti yang dilakukan oleh seorang pengikut tarekat kepada mursyidnya (pembimbing tarekat) dan kelompok-kelompok sempalan tertentu dalam Islam.
Didalam tarekat kadang-kadang antara “talqin- baiat- tawajuh “ oleh para pengikutnya diartikan yang sama, yaitu diberikan pelajaran berdzikir, padahal tidak demikian, karena arti talqin adalah mengajarkan la ilaha illa Allah, dan arti bai’at adalah janji setia, dan arti tawajuh adalah berhadap – hadapan .Mereka yang mengartikan yang sama adalah karena pada waktu talqin yang diberikan itu la ilaha illa Allah dengan cara berhadap-hadapan dan setelahnya dia mengucapkan janji / di tugas untuk melakukan dzikir sesuai petunjuk .
Sumber : Ensi .
By Abu Bakar Bin Ahmad Mansor
(S.Kom.I., C.St., CH., CHt., NNLP.,)