Selain keempat khalifah diatas, sebagai rujukan para sufi dikenal pula para ahli as suffah. Mereka ini tinggal di mesjid Nabawy di Madinah dalam keadaan serba miskin, teguh dalam memegang aqidah, dan senantiasa mendekati diri kapada Allah swt. Diantara ahli as suffah itu ialah Abu Huraerah, Abu Dzar al Gifary, Salman Al Farisi, Mu’adz bin Jabal,Imran bin Husin, Abu Ubaidah bin Jarroh, Asbdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abas, dan Hudzaefah bin al Yaman. Abu Nu’aim al Asfahani, penulis tasauf (w 430 H /1036 M) menggambarkan sifat-sifat ahli sufah didalam bukunya Huliyatul auliya (permata para wali) yang artinya “Mereka adalah kelompok yang terjaga dari kecenderungan duniawi, terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban yang menjadi panutan kaum miskin yang menjauhi kemanusiaan. Mereka tidak memiliki keluarga dan harta benda. Bahkan pekerjaan dagang ataupun peristiwa yang berlangsung disekitar mereka tidaklah melalaikan mereka dari mengingat Allah swt. Mereka tidak disedihkan oleh kemiskinan matrial dan mereka tidak digembirakan kecuali oleh suatu yang mereka tuju”.
Kamis, 18 Agustus 2011
Kehidupan Para Ahli As-Suffah
04.49.00
Tasawuf
Diantara para ahli as suffah itu ada yang mempunyai keistimewaan tersendiri. Hal ini memang diwariskan oleh Rosulullah saw kepada mereka, seperti Hudzaefah bin Yaman yang telah diajarkan oleh Nabi saw tentang ciri-ciri orang munafiq. Jika ia berbicara tentang orang munafik, para sahabat yang lain senantiasa ingin mendengarnya dan ingin mendapatkan ilmu yang belum diperolehnya dari Nabi saw. Umar bin Khotob pernah tercengang mendengar uraian Hudzaefah tentang ciri-ciri orang munafik.
Sedangkan Abu Dzar Al Gifari termasyur sebagai orang yang social. Ia tampil sebagai prototype (tokoh pertama) fakir sejati. Abu Dzar tidak pernah memiliki apa-apa tetapi ia sepenuhnya adalah milik Allah swt dan akan menikmati hartanya yang abadi. Bila ia diberi sesuatu berupa materi, maka materi tersebut dibagi-bagikannya untuk para fakir miskin.
Kehidupan para tabi’in
Setelah periode sahabat berlalu muncul pula periode tabi’in (sekitar abad ke 1 dan ke 2 H). Pada masa itu kondisi social politik sudah mulai berubah dari masa sebelumnya. Konflik-konflik politik yang bermula dari masa Usman bin Affan berkepanjangan dari masa-masa sesudahnya.
Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok-kelompok Bani Umayah, Syi’ah, Khawarij, dan Murji’ah.
Pada masa kekuasaan Bani Umayah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah-khalifah Bani Umayah secara bebas berbuat kedzaliman-kedzaliman terutama terhadap keloimpok Syi’ah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentengnya. Puncak kekejaman mereka terlihat jelas ada peritiwa terbunuhnya Husen bin Ali bin Abi Talib di Karbela. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu.
Kekejaman Bani Umayah yang tak henti-hentinya itu membuat sekelompok penduduk kuffah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husen dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husen. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabin (kaum Tawwabin). Untuk membersihkan diri dari yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum Tawwabin itu dipimpin oleh Muhtar bin Ubaid as Tsaqofy yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H.
Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi social pun terjadi. Hal ini mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada masa Rosulullah saw dan para sahabat, secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana. Ketika Bani Umayah memegang tampuk kekuasaan, hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi dikalangan istana. Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin menjauh dari teradisi kehidupan Nabi Muhammad saw serta para sahabat utama dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja-raja Romawi. Kemudana anaknya, Yazid (memerintah 61 H / 680 M sampai 64 H / 683 M), dikenal sebagai khalifah yang tidak mempedulikan ajaran-ajaran agama. Dalam sejarah, Yazid dikenal sabagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian kaum muslimin yang sholih mersa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, sholeh, dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut ialah Abu Dzar Al Gifari dan melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan social dalam Islam.
Dari Perubahan-Perubahan kondisi tersebut sebagai masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi saw dan para sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah. Sedang saat itu kehidupan zuhud menyebar luas dikalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut Zahid jamanya Zuhad atau karena ketekunan mereka itu beribadah, maka di sebut “abid”(jamanya ‘abidin atau ‘ubad), atau nasik (jamanya nussak).
Tokoh Tabi’in pertama yang muncul di Madinah ialah Sa’ad bin Musayyab (15 – 94 H) ia banyak mendapat pendidikan dari mertuanya, Abu Huraeroh. Pda dirinya terkumpul kealiman dalam bidang hadits dan fiqih disamping itu juga dalam bidang ibadah, kezuhudan dan akhlak mulia.
Selanjutnya muncul Salim bin Abdullah bin Umar bin Khotob, seorang tabi’in yang hidup zuhud. Diriwayatkan (berdasarkan ucapan tabi’in) suatu kali Sulaiman bin Abdul Malik masuk ke Masjidil Haram. Didalam masjid dilihatnya Salim dan ditegurnya: “Mintalah kepadaku segala kebutuhanmu”. Jawab Salim “Demi Allah, dalam baitullah ini aku tidak meminta pada siapapun kecuali kepada Allah “. Di kota Basyroh masyhur pula nama Hasan al Basyry (Madinah 642 – Basyroh 728). Ia di besarkan dalam asuhan Ali bin Abi Thalib dan banyak belajar tentang ilmu kerohanian darinya dan dari Hudzaefah bin Yaman.
Hasan al Basyry mashur dengan kezuhudannya yang berlandaskan khouf (takut kepada kemurkaan Allah swt) dan roja (mengharapkan rohmat Allah swt). Yang di maksud dengan khouf ialah takut terjerumus kepada kemaksiatan yang akan mendapat kemurkaan dari Allah.
Khuof harus diiringi dengan roja, yakni senantiasa mengharap karunia Allah swt. Oleh sebab itu, Al Basru mengatakan “jauhilah dunia ini, karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada preasaan tangan, tetapi racunnya mematikan”.
Tokoh zuhud Basyroh lainnya ialah Malik bin Dinar (w 171 H). Ia adalah putra seorang budak berbangsa persia (Iran) dari Sijistan dan menjadi murid Hasan Al Basyry. Tentang kezuhudan Malik bin Dinar diceritakan oleh Al Sya’roni bahwa ia makan dari hasil kerja mengambil pelepah kurma dan dirumahnya tidak ada apa-apa kecuali mushhaf (kumpulan lembaran) Al Qur’an, kendi dan tikar. Diceritakan pula bahwa ia pernah berkata “seandainya seseorang mempelajari ilmu untuk diamalkan, ilmunya akan berkembang, tetapi ia mencari ilmu bukan untuk diamalkan, ia akan bertambah keji, sombong, dan merendahkan kaum awam”.
Para peneliti tasauf, diantaranya Al Taftazani menyebutkan bahwa corak yang menonjol dari para tokoh kerohanian di Basyroh ialah kezuhudan dan rasa takut yang luar biasa terhadap kemurkaan Allah swt. Rasa takut tersebut ternyata menimbulkan minat untuk lebih banyak beribadah dan menjauhi kelezatan dunia.
Tokoh tabi’in di Kufah antara lain Sufyan al Tsaury (97 – 161 H) yang terkenaldengan kealimannya dalam bidang hadits dan fiqih. Dalam bidang hadits ia mendapat gelar amirul mukminin fil hadits ( khalifah hadits), sedangkan dalam fiqih ia mencapai derajat mujtahid mutlak, dan madzhabnya pernah berkembang dalam dua abad. Dalam bidang kerohanian ia termasuk zuhud waro banyak beribadah dan sanggup menentang penguasa yang di pandangnya dzalim.
Tokoh zuhud Kufah lainnya diantaranya Rabi’ bin Khaisam, Sa’id bin Zuber, Tawus bin Kaisan al Yamani, Sufyan bin Uyainah, Jabir bin Hayyan dan Abu Hasyim. Umumnya mereka mempunyai ketekunan yang istimewa dalam beribadah. Dalam satu riwayat dari Al Gazali dikatakan bahwa diantara mereka ada yang sanggup melakukan qiyamul lail (shalat malam) sepanjang malam. Padamasa Hasan al Basyry dan tokoh-yokah kezuhudan pada abad ke 1 dan ke 2 H ini yang menjadi dasar zuhud mereka ialah khouf dan roja.
Masa peralihan dari zuhud ke tasauf
Pada akhir abad ke 2 H peralihan dari zuhud ke tasauf sudah mulai tampak. Pada masa ini juga muncul analisis-analisis singkat tentang kesufian. Meskipun demikian, menurut nicholcon, untuk membedakan antara kezuhudan dan kesufian sulit dilakukan karena umumnya para tokoh kerohanian pada masa ini adalah orang-orang zuhud. Oleh sebab itu, menurut Al Taftazani, mereka lebih layak dinamai zahid daripada seorang sufi.
Diantara tokoh kerohanian pada akhir abad ke 2 H yang agak condong kepada kajian tasauf ialah Ibrahim bin Adham (w 161 H) di khurasan. Ia adalah seorang putra raja di Balkh (Afganistan), tetapi tidak terpesina dengan kemewahan dan kekuasaan duniawi. Akhirnya, ditinggalkannya kerajaan ayahnya dan berkelana dengan pakaian wol besar ke padang pasir. Lalu ia menjadi tukang kebun di Syam (Suriah). Suatu kali ia ditanya: “mengapa anda menjauhi orang banyak ?” jawabnya “kupegang teguh agama didadaku”.
Dengannya aku lari dari satu negeri ke negeri lain, dari bumi yang kutinggalkan menuju bumi yang akan kudatangi. Setiap orang yang melihatku menyangka aku seorang pengembala atau orang gila. Hal itu aku lakukan dengan harapan bisa memelihara kehidupan beragamaku dari godaan syetan dan menjaga keimananku, sehingga aku selamat sampai di pintu gerbang kematian.
Tokoh lain pada masa ini ialah Imam Fudael bin ‘Iyad (w 187 H). Ia berasal dari Khurasan meninggal di Mekah. Pada mulanya ia seorang perampok kemudian berubah menjadi seorang zahid yang taat. Dalam kajian-kajiannya ia menekankan perlunya pembinaan batin daripada amal lahir. Kemudian muncul pula Daud Al Ta’iy (w 185 H) seorang zahid dan guru dari Ma’ruf al Karhi, tempat yang nanti muridnya nanti akan mengembangkan teori makrifat.
Warna kezuhudan lebih tampak lagi pada Rabi’ah al Adawiyah (95 - 185 H / 713 – 801 M), seorang anak keluarga miskin yang hidup sebagai hamba sahaya, kemudian menjalani hidupnya dalam kezuhudan. Hari-harinya dihabiskan diatas tikar sajadah. Bagi Rabi’ah yang mendorongnya demikian adalah rasa cinta (mahabbahnya) kepada Tuhan, sehingga tidak tersisa lagi waktu dan ruang hatinya untuk selain Allah swt. Cinta kepada Allah swt membuat ia meninggalkan segala-galanya dan cinta itu pula yang mendorongnya untuk beribadah sebanyak-banyaknya agar bertemu dengan Allah swt yang dicintainya.
Sumber : 1. Ensi
2. Qusyaeriyah.
By Abu Bakar Bin Ahmad Mansor
(S.Kom.I., C.St., CH., CHt., NNLP.,)