Most Post

Perkembangan Pondok Pesantren Suryalaya

Perkembangan Pondok Pesantren Suryalaya                 Masa KH Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh).                 Riwayat...

Kamis, 18 Agustus 2011

Perkembangan Tasawuf


Masa Tasauf abad ke II H dan ke IV H .

            Dari cara hidup zuhud pada abad ke 1 dan ke 2 H, maka dimulailah kajian-kajian kesufian pada abad ke 3 dan ke 4 H. Dalam kajian tersebut terdapat dua kecenderungan para tokoh. Pertama, cenderung pada kajian tasauf yang bersifat akhlak, yang didasarkan pada Al-Qu’ran dan Sunnah (tasauf Sunni). Kedua cenderung pada kajian tasauf filsafat dan banyak berbaur dengan kajian filsafat metafidika.

            Tokoh-tokoh dari kelompok pertama misalnya Haris Al Muhasiby (Basroh 165 H – Bagdad 243 H ). Ia banyak mengkaji dan mengajarkan disiplin diri (muhasabah). Pembicaraannya yang lebih rinci tentang itu tertuang dalam karyanya Al Ri’ayah lihuquqillah (menjaga hak Allah). Yang banyak mempengaruhi Al Gozali dalam menyusun karyanya, Ihya ulumuddin (menghidupkan ilmu agama). Disamping karya tersebut, al muhasiby juga menulis Al Washoya yang mengkaji ulasan tentang zuhud. Sedang bukunya Al Tawahum menyuguhkan kedasyatan maut dan hari pembalasan. Adapun kehalusan dan kemurnian cinta ketuhanan dituliskan secara artistic didalam Fasl fi al mahabbah (penjelasan tentang konsep cinta).

            Tokoh lainnya adalah Sirri al Saqity, Abu Aly al Ruzbary dan Abu Zaed al Adami. Disamping itu terdapat pula Abu Sa’id Al Khoroz yang banyak menumpahkan kajiannya pada maqom dan hal, Sahl al Tastary yang terkenal dengan kehusuannya dalam beribadah dan berdisiplin diri dan Al Junaed al Bagdady (w 289 H) yang paling populer dan mempunyai analisis yang dalam tentang tauhid dan fana dari kalangan tokoh sufi sunni. Baginya memperdalam pengenalan kepada Allah swt harus bersamaan dengan peningkatan amal dan disiplin diri. Al Junaed mewariskan ilmunya itu kepada murid-muridnya. Diantara murid-muridnya yang masyhur ialah Abu Bakar Al Syibly.

Dalam lingkungan aliran pertama ini muncul 3 orang penulis tasauf yang buku-bukunya masih dapat ditemukan dewasa ini. (1) Abu Nashr al Sharoj al Tusi (w 387 H). Ia seorang penulis kitab besar dan fundamentalis dalam judul kitab Al Luma’. (2) Abu Talib Al Maky (w 386 H) membuktikan pula keafsahannya doktrin dan praktek sufi dalam karyanya Qut al Qulub. (3) Abu Bakar Al Kalabazy, penulis buku kecil Al Ta’aruf li Madzhab ahli al tasuf ( perkenalan para aliran ahli tasauf ). Ketiga penulis tersebut telah memperkenalkan doktrin dan praktek tasauf  yang muncul pada abad 4 H dan sebelumnya.

Sedangkan dalam aliran yang kedua dikalangan sufi filsafat terdapat pula Dzun nun al Mishry (180 – 246 H). Ia adalah seorang sufi yang juga ahli kimia, mengetahui tulisan Hieroglif Mesir Kuno, dan akrab dengan pengetahuan Hermetis  (kedap udara). Dalam buku-buku biografi  para sufi ia sering disebur sebagai tokoh legendaris. Dalam tasauf ia dikenal sebagai bapak teori makrifat. Menurutnya pengetahuan tentang Tuhan mempunyai tiga tingkatan yaitu : (1) pengetahuan awwam, yaitu pengetahuan tentang Tuhan  dengan perantara ucapan syahadat, (2) pengetahuan ulama, yaitu pengetahuan tentang Tuhan dengan alat logika dengan akal, (3) pengetahuan sufi (‘arif), yaitu pengetahuan tentang Tuhan dengan hati sanubari. Pengetahuan sufu ini disebut juga dengan makrifat, yakni kemampuan hati sanubari untuk melihat Tuhan. Kemampuam itu sendiri berasal dari Tuhan pula, orang yang telah mencapai pengetahuan ini di sebut arief.

Tokoh lain yang paling berani dari kelompok tasauf filsafat adalah Abu Yazid al Bustomy (w 260 H), yang secara terus terang mengungkapkan al sakr (mabuk ketuhanan) ,fana dan baqo (peleburan diri untuk mencapai keabadian dalam diri Ilahy), dan ittihad (bersatu dengan Tuhan). Bagi Al Bustomi seorang sufi yang begitu dekat dengan Tuhan akan lebur dan bersatu dengan Nya. Ketika itu yang diucapkan bukan lagi perkataan sendiri melainkan perkataan Tuhan. Dalam keadaan demikian Abu Yazid Al Bustomi mengucapkan kata-kata ganjilnya:” Sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain aku”.Ucapan-ucapan demikian di sebut syathahat (mufrodnya syatah), yaitu ucapan sufi ketika ia dalam ekstasi (mabuk ketuhanan). Puncak tasauf filsafat abad ke 3 dan ke 4 h ini terletak pad Husen bin Mansur al Hallaj (244 – 309 H). Ia merupakan tokoh yang paling kontropersial didalam sejarah tasauf dan akhirnya menemui ajalnya di tiang gantungan.

Teori tasauf yang dikembangkan oleh al Hallaj ialah al hulul yakni faham yang menyebutkan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu dilenyapkan. Bagi al Hallaj didalam diri manusia terdapat sifat-sifat kemanusiaan (an nassut) dan sifat-sifat ketuhanan (al lahut). Bila manusia telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan dari dirinya dengan jalan fana, maka akanlah tinggal didalam dirinya yang disebut al hulul.

Teori lain yang dikemukakan oleh Al Hallaj ialah teori al haqiqoh al muhammadiyah (Nur Muhammad) yaitu pandangan bahwa Muhammad mempunyai dua rupa. Rupa pertama ialah yang qodim, dari padanyalah muncul alam ini sedangkan rupa yang kedua ialah muhammad sebagai manusia, nabi, dan rasul Allah swt. Muhammad dalam bentuk pertamalah yang dikatakan Nur Muhammad, yang tidak mengalami kematian, karena qodimnya. Perbedaan qodimnya dengan qodim dzat Allah hanya dari segi sebutan.

Salah satu yang menandai kemapanan tasauf pada abad ke 3 dan ke 4 H ini ialah munculnya tareqat-tareqat sufi dalam bentuknya yang paling awal. Tareqat itu dalam prakteknya mempunyai seorang syekh mursyid (pimpinan tareqat) atau pir. Seorang syekh diikuti oleh seorang pengikut yang disebut murid, salik atau darwis. Mereka tinggal dalam sebuah pondok yang disebut ribath atau khanqah. Murid yang telah selesai latihan dan mendapat ijazah dari syekhnya yang disebut khirqoh yang berupa jubah atau sobekannya. Murid yang telah dapat khirqoh sudah boleh menjadi khalifah (wakil syekh) pada cabang tareqat tersebut.

Tareqat yang muncul pada masa ini ialah tareqat mulamatiah atau Al Qossariyah yang dinisbatkan kepada Hamdun al Qossar, Tareqat Taefuriyah yang dinisbatkan kepada Abu Yazid Al Bustomy, Tareqat Al Khorroziyah yang dinisbatkan kepada Abu Sa’id al Kharraz, Tareqat Al Nuriyah yang dinisbatkan kepada Abu al Husen an Nuri (w 295 H) seorang sufi yang banyak menulis puisi tasauf. Dan tareqat Al Hallajiah yang dinisbatkan kepada Mansur al Hallaj.

Perkembangan tasauf pada abad ke 5 H

Setelah Al Hallaj meninggal, semakin tenggelamkah tasauf filsafat, sementara tasauf sunni semakin mendapat tempat dihati masyarakat. Abad ke 5 H boleh dikatakan sebagai masa kemunduran tasauf filsafat dan berjayanya tasauf sunni. Hal ini terutama didukung oleh  keunggulan Asy’ariyah dalam teologi yang sejalan dengan tasauf sunni.
          
Al Qusyairy

Diantara tokoh tasauf yang muncul pada abad ke 5 H adalah Abu Qosim Abdul Karim al Qusyairi (376 – 466 H), penulis Al Risalah al Qusyairiyah sebuah kitab tasauf yang mengangkat kerangka teoritis tasauf walaupun kajiannya agak umum dan ringkas. Oleh sebab itu buku tersebut banyak mendapat perhatian para ulama tasauf sesudahnya.

            Abu Ismail  

Tokoh lain yang muncul pada masa ini adalah Abu Ismail bin Muhammad al Anshory al Harawy (396 – 481 H) dengan karyanya Manazil as Sairin ila Rabbil alamin (kedudukan orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah swt.) Dalam karyanya yang ringkas tersebut ia menguraikan maqomat para sufi yang menurutnya mempunyai awal dan akhir. Makam terakhir tidak akan bisa berdiri utuh kecuali diatas landasan awalnya yaitu ikhlas dan dilaksanakan atas sunnah. Sebagai penganut Madzhab Hanbali
, Al Harawy terkenal sebagai penentang tasauf filsafat yang dibawa oleh al Bustomy dan al Hallaj.

Al Gozali

Puncak kecemerlangan tasauf pada abad ke 5 H adalah pada masa Al Gazali yang karena ilmu dan kedudukannya yang tinggi dalam Islam, ia bergelar Hujjatul Islam. Al Gazali menempuh dua masa kehidupan yang berbada. Pertama ketika ia dalam kondisi pemuh semangat dalam menimba ilmu, mengajar dan penuh gairah dalam kedudukan sebagai guru besar di Perguruan Nidomiyah yang senantiasa diliputi oleh harta duniawi. Kedua masa syak (ragu) terhadap kebenaran ilmu yang didapatnya dan terhadap kedudukan yang dipegangnya. Akhirnya keraguan itu terobati dengan pengamalan tasaufnya. Hal ini terjadi diakhir masa pertamanya dan merupakan masa peralihanya. Maka bagi kedua kehidupannya dijalani dengan ketenteraman dan keheningan tasauf. Pada masa inilah banyak menulis tentang tasauf.

Al Gazali mempunyai karya tulis yang begitu banyak dalam bidang tasauf. Diantaranya Ihya ulum ad Din, yang paling besar, paling popular, dan mendapat tempat dihati masyarakat serta telah diterjemahkan keberbagai bahasa. Didalam buku tersebut Al Gazali dengan ilmunya yang luas dan dalam mendamaikan teologi, fikih, dan tasauf. Ia juga membahas secara luas tentang ibadah, prilaku yang menjadi adat kebiasaan dalam kehidupan, dosa-daso yang membinasakan, dan jalan menuju keselamatan berupa maqomat dan ahwal.

Dari telaah karya-karya tasauf al Gazali kemudian Al Taftazani menyimpulkan bahwa al Gajali telah berhasil mendiskripsikan secara jelas jalan menuju Allah swt. Sejak permulaan dalam bentuk latihan jiwa, lalu menempuh fase pencapaian rohaniyah dalam bentuk maqomat dan ahwal yang akhirnya sampai pada fana, tauhid, makrifat, dan sa’adah (kebahagiaan).

Karya-karya tasauf yang berbobot lainnya oada abad ke 5 H adalah Al Tobaqotus Sufiyah (tingkatan-tingkatan sufi) oleh Abdurohman al Sulamy (w 412 H) Hilyah al Auliya oleh Abu Nu’aim Al Asfihani (w 430 H), dan Kasyful Mahjub (menyingkap tabir) oleh Ali bin Usman al Jullby al Hujwirri.

Setelah menghilang ditengah-tengah masyarakat, maka pada awal abad ke 6 H tasauf filsafat muncul kembali dalam bentuk yang lain. Suhrowardi maqtul (587 H) mencetuskan teori Hikmatul isyroq ( filsafat iluminasi). Pokok dari teori tersebut ialah bahwa Allah swt adalah cahaya mutlak yang merupakan sumber segala cahaya. Dari cahaya Allah swt itu memancar cahaya-cahaya yang lain, bahkan segala cahaya yang ada di alam ini berasal dari cahaya hakikat Nya. Apabila jiwa-jiwa telah terpancar jauh dari sumbernya, ia ingin kembali kepada cahaya asalnya. Untuk itu terlebih dahulu ia harus melalui latihan-latihan rohaniah agar ia bisa terlepas dari kungkungan kefanaan duniawi dan dapat berenang dalam samudera cahaya menuju cahaya yang hakiki.

Perkembangan tasauf setelah abad ke 5 H

Puncak perkembangan tasauf pada abad ke 6 dan ke 7 H terletak pada Ibnu Arabi dengan teori tasauf filsafatnya Wahdatul wujud, yakni teori yang memandang bahwa wujud mutlak dan hakiki itu adalah Allah swt., sadangkan wujud kainaat (alam) ini hanyalah wujud majazy (kiasan) yang bergantung pada wujud Tuhan. Dengan demikian pada prinsipnya wujud yang sebenarnya adalah satu, yakni wujud Allah swt. Sedangkan fenomena alam yang serba ganda ini hanya merupakan wadah tajalli (penampakan lahir diri) Allah swt. Teori wahdatul wujud ini diuraikan dalam bukunya Fusus al Hikam dan Al Futuhat al Makiah.

Sufi-sufi lain yang muncul pada abad ke 6 H dan ke 7 H ini umumnya mempunyai pandangan yang mirip dengan konsep wahdatul wujud Ibnu Arobi. Diantara mereka ialah Ibnu Sab’in ( 624 – 669 H) dengan karyanya Budd al Arif, Ibnu al Farid (579 – 632 H) dengan karyanya berupa kumpulan puisi sufi berjudul at-Taiyah, dan Jalaludin ar Rumi (604 – 672 H) dengan karyanya al Masnawy.

Dalam lapangan tasauf amali muncul pemuka-pemuka tarekat yang besar antara lain adalah Abdul Qodir al Jaelani (470 – 561 H) di Bagdad, pendiri tarekat Qodiriyah; Ahmad bin Ali Abdul Abbas al Rifa’I (578 H) di Iraq, pendiri tarekat Rifa’iyah; Abu an Najib as Suhrowardi (490 – 563 H) dan Syihabuddin Abu Hafs Umar bin Abdullah as Suhrowardi (539 – 632 H) anak saudaranya, keduanya pendiri tarekat Suhrowardiyah; Abdul Hasan Aly as Sadzily (w 66 H) di Tunisia, Pemdiri tarekat Syadziliyah; dan Sayid Ahmad al Badawy (596 – 675 H) di Mesir pendiri tarekat Ahmadiyah.

Sesudah abda ke 7 H tidak ada lagi tokoh-tokoh besar yang membawa ide tersendiri dalam pengetahuan tasauf. Kebanyakan dari mereka hanya mengembangkan ide para pendahulunya. Misalnya Abdul Karim bin Ibrahim Al Jilli (832 H) dengan bukunya Al Insan Al Kamil (manusia yang sempurna).

Ia hanya melacak kembali teori wahdatul wujud. Pada masa ini datang pula Abdul Wahad as Sya’roni (898 – 973 H) seorang sufi yang berpengetahuan luas tetapi tidak kritis dan buku-bukunya penuh tahayul serta ungkapan-ungkapan yang menonjolkan diri sendiri. Kemudian datang pula Syekh Muhammad Isa Sindhi Al Burhanpuri al Hindi (w 1030 H ) dengan bukunya yang berjudul Al Tuhfatul Mursalah (kiriman cendera mata) yang mengembangkan teori Wahdatul wujud menjadi ajaran “ Martabat Tujuh”.


By Abu Bakar Bin Ahmad Mansor
(S.Kom.I., C.St., CH., CHt., NNLP.,)