Dzikir
Artinya: menyebut, menuturkan, mengingat, menjaga, mengerti, perbuatan baik. Ucapan lisan, gerakan raga, maupun getaran hati sesuai dengan cara-cara yang diajarkan agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt, upaya untuk menyingkirkan keadaan lupa dan lalai kepada Allah swt dengan selalu ingat kepadaNya. Keluar dari suasana lupa, masuk ke dalam musyahadah (saling menyaksikan) dengan mata hati, akibat di dorong oleh rasa yang mendalam oleh Allah swt.
Ibnu Atho, seorang sufi yang menulis Al Hikam (kata-kata hikmah) membagi dzikir kepada tiga bagian: yaitu dzikir jali (Dzikir jalas / nyata), dzikir khofi (dzikir yang samar-samar) dan dzikir hakiki (dzikir yang sebenar-benarnya).
Dzikir jali ialah suatu perbuatan mengingat Allah swt dalam bentuk ucapan-ucapan lisan yang mengandung arti pujian, rasa syukur, dan do’a kepada Allah swt. yang lebih menampakkan suara yang jelas untuk menuntun gerak hati. Misalnya dengan membacakan tahlil (mengucapkan kalimat la ilaha illa Allah = tiada Tuhan selain Allah), tasbih ( mengucapkan kalimat Subhana Allah = Maha Suci Allah), takbir (mengucapkan kalimat Allahu akbar = Allah Maha Besar), membaca Al Qur’an atau do’a lainnya. Mula-mula dzikir ini diucapkan lisan, mungkin tanpa dibarengi ingatan hati. Hal ini biasanya dilakukan oleh orang awam (orang kebanyakan). Tapi hal ini dimaksudkan untuk mendorong agar hatinya hadir menyertai ucapan-ucapan lisan itu.
Dzikir kali ini ada yang sifatnya Muqoyyad (terikat) dengan waktu, tempat, atau amalan tertentu lainnya. Misalnya ucapan-ucapan dalam shalat, ketika melakukan ibadah haji, do’a-do’a yang diucapkan ketika akan makan, akan tidur, bangun tidur, pergi keluar rumah, mulai bekerja, mulai belajar, melihat teman berbaju baru dan sebagainya. Banyak Al Qur’an yang isinya perintah dari Allah swt agar manusia senantiasa berdzikir mengingat Allah swt. Beberapa diantaranya ialah Surat An Nisa ayat 103
فَاِذَاْ قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُااللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَىْ جُنُوْبِكُمْ فَاِذَاْ اِطْمَأ نَنْتُمْ فاَقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَاِنَّ الصَّلاَةَ كَاْنَتْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ كِتَاباً مَوْقٌوْتاً
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat mu, ingatlah Allah diwaktu berdiri,diwaktu duduk, dan diwaktu berbaring.Kemudian apabila kamu telah merasa aman maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa. Sesungguhnya shalat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.
Surat Al Maidah ayat 4
: ...........وَاذْكُرُواْ اْسمَ اللهِ عَلَيْهِ وَاتَّقَُوْا اللهَ اِنَّ اللهَ سَرِيعُ الحِسَابِ...............
“……Dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertaqwalah kepada Allah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat cepat hisabnya” .
Surat Al Hajj ayat 36
:..........فاَذْ كُرُوْا اسْمَ الله ِعَلَيْهَا صَوَّافَ..........
“Maka sebutlah Nama Allah sambil berdiri”.
Surat al Jum’ah ayat 10
وَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلَوةُ فَانْتَشِرُواْ فِيْ الاَرْضِ وَابْتَغُواْ مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرَواْ اللهَ كَثِيْرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونْ. .
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi; dan carilah karunia Allah, dan ingatlaah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” .
Dzikir jali yang sifatnya mutlak atau tidak terikat dengan waktu dan tempat misalnya mengucapkan tahlil, tasbih dan takbir dimana saja dan kapan saja.
Dzikir khafi adalah Dzikir yang dilakukan secara khusyu’ oleh ingatan hati baik disertai Dzikir lisan ataupun tidak. Orang yang sudah mampu melakukan Dzikir seperti ini hatinya merasa senantiasa memiliki hubungan dengan Allah swt. Ia selalu merasakan kehadiran Allah swt kapan dan dimana saja. Didalam dunia sufi terdapat ungkapan bahwa seorang sufi ketika melihat suatu benda apa saja, yang dilihatnya bukan benda itu, tetapi Allah swt. Artinya bukan berarti benda itu Allah swt tetapi pandangan hatinya jauh menembus melampaui pandangan matanya. Ia melihat bukan saja benda itu tetapi juga menyadari akan adanya khalik yang menciptakan benda itu.
Tingkatan yang paling tinggi ialah dzikir hakiki, yaitu dzikir yang dilakukan oleh seluruh jiwa raga, lahiriah dan batiniyah, kapan dan dimana saja, dengan memperketat upaya untuk memelihara seluruh jiwa dari kalangan Allah swt dan mengerjakan apa yang diperintahkanNya. Selain itu tiada yang diingat selain Allah swt. Untuk mencapai tingkatan dzikir hakiki ini perlu dijalani latihan-latihan mulai dari tingkat dzikir jali dan dzikir khafi.
Untuk melakukan dzikir, seseorang tidak harus berdiam diri dalam satu tempat kemudian membacakan dzikir. Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dari Aisah binti Abu Bakar ra dikatakan Rasulullah saw senantiasa mengingat Allah swt (dzikir) dalam setiap saat. Pada hadits lain diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda : Kalau aku membaca Subhana Allah, Al hamdu li Allah, La ilaha illa Allah dan Allahu Akbar ( Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar), maka bacaan itu aku lebih gemari dari pada mendapatkan kekayaan sebanyak apa yang berada dibawah sinar matahari (H.R. Muslim).
Dzikir dzikir yang di contohkan Rasulullah saw tersebut merupakan dzikir yang mudah dilakukan, sehingga siapapun dapat melakukannya, baik yang sudah mencapai tingkatan dzikir yang tinggi maupun bagi para pemula.
Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang bertasbih setiap selesai shalat sebanyak 33 kali, tauhid 33 kali, takbir 33 kali kemudian di genapkan menjadi 100 dengan La ilaha illa Allahu wadahu la syarika lahu lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa ‘ala kuli syai in qodiir (Tidak ada Tuhan selain Allah yang Esa, tidak ada sekutu bagiNya, yang mempunyai kerajaan yang pantas di puji, Ia Maha Kuasa segala sesuatu), niscaya di ampuni dosa-dosanya walaupun dosa itu sebanyak buih dilaut”.
Dalam hadits yang juga diriwayatkan Muslim, Sa’ad bin Abi Waqos menceritakan, ketika sedang duduk bersama Rasulullah saw, tiba-tiba Nabi saw bersabda: “Adakah diantara kalian yang lemah sehingga tidak mampu berbuat seribu buah kebajikan dalam setiap hari?. Diantara sahabat ada yang langsung menanyakan “ Bagaimana caranya?” Nabi saw menjawab: “Membaca tasbih seratus kali, maka tercatat untuk seribu kebajikan, dan dihapuskan dari padanya seribu kesalahan”.
Berdzikir secara teratur dan dengan disiplin perlu diamalkan, mulai dari dzikir jali untuk kemudian ditingkatkan kepada tingkatan yang lebih tinggi. Dzikir dapat melembutkan hati sehingga seseorang yang melakukannya dapat melihat dan mengikuti kabenaran serta terpelihara dari godaan syetan.
Shalat meskipun merupakan ibadah formal, karena dimaksudkan untuk mengingat Allah swt yang mana itu juga dapat di sebut salah satu bentuk dzikir. Dalam surat Toha ayat 14 disebutkan :
اِنَّنِي اَنَا اللهُ لاَ اِلَه َاِلاَّ اَنَا فاَعْبُدُوْنِى وَاَقِمِ الصَّلَوْةَ لِذِكْرِيْ
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah , tidak ada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.
Shalat yang dilakukan dengan baik dan dengan dzikir yang mendalam akan melindungi orang yang melakukannya dari perbuatan keji dan munkar. Al Qur’an surat Al “Ankabut ayat 45 :
أُتلُ مَا اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتَاْبِ وَأَقِمِ الصَّلاَةَ اِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَىْ عَنِ الفَخْشَا وَالمُنْكَرِ.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu ,yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya ahalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar”.
Dalam istilah lain yang diketahui dari Syekh Shohibul Wafa Tajul Arifin bahwa dzikir itu ada yang bil lisan dan ada yang bil jinan, yaitu yang menurut Ibnu Atho ada tiga, disini ada dua karena dzikir khofi dan dzikir hakiki adalah satu yaitu disebut dengan dzikir bil jinan, sedangkan dzikir jali disebut dengan dzikir bil lisan dan selanjutnya yang bil jinan biasa disebut dengan khofi sedangkan yang bil lisan biasa disebut dengan jahar.
Sumber Ensi.
Talqin dan Bai’at.
Talqin .
Talqin artinya mengajar; kata talqin berasal dari bahasa Arab yang dalam ilmu shorof di tashrif berbunyi لَقَّنَ يُلَقِّنُ تَلٌقيْناًً artinya mengajar. Kata talqin merupakan bentuk mashdar (infinitif/bentuk nominal yang diturunkan dalam bentuk verba), yang secara etimologis berarti mendikte, mengajar, dan memahamkan secara lisan .
Didalam istilah fikih berarti bimbingan mengucap kalimat ikhlash (la ilaha illa Allah) yang artinya: tiada Tuhan selain Allah. Atau kalimah syahadat yang diberikan oleh seorang mukmin kepada seorang mukmin lain yang telah menampakkan dirinya tanda-tanda kematian atau dalam keadaan sakaratul maut. Tujuan bimbingan ini adalah untuk mengingatkan orang yang akan meninggal dunia itu pada tauhid, sehingga akhir ucapan yang keluar dari padanya adalah la ilaha illa Allah atau akhir ingatannya kepada Allah semata. Ini semata didasarkan kepada sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud yang dinilai shahih oleh Al Hakim dari Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah saw bersabda :
مَنْ كَاْنَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“ Barang siapa yang akhir kalamnya la ilaha illa Allah maka dia masuk surga”.
Dan didasarkan pada hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al Khudri
لَقِّنُوْا مَوْتَاْكُمْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ
“ Ajarkanlah olehmu sekalian la ilaha illa Allah kepada orang – orang yang mati (orang-orang yang akan mati)”
.
Dalam riwayat lain dengan pengertian yang sama tidak berbunyi kalamihi melainkan berbunyi qaulihi, sehingga dapat ditafsirkan dengan arti lain, karena sebagian ulama berpendapat bahwa kalam itu bukan dalam arti berbunyi tetapi dalam arti memberi isyatat, artinya dengan isyarat itu dia telah melakukan ma’na yang sama yaitu kandungan la ilaha illa Allah.
Talqin kepada orang yang akan meninggal dunia.
Jumhur (mayoritas) berpendapat bahwa kalimat talqin yang yang diajarkan kepada orang yang akan meninggal dunia itu adalah la ilaha illa Allah saja, ini memang sesuai dengan dohirnya hadits diatas, tetapi sebagian ulama antara lain Al Qodi Abu Toyyib dalam kitab Al Hawi (yang sempurna /yang menghimpun) Nashor al Maqdisi dalam kitab Al Kaafy (yang memadai), Al Jurjany dalam kitab Al Tahir (yang suci), dan Al Syasi dalam kitab Al Mu’tamad (yang standar) berpendapat bahwa kalimat yang di talqinkan itu adalah dua kalimat syahadat, yaitu :
لاَاِلَهَ اِلاَّ اَللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اَللهِ
“Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah”.
Alasannya maksud talqin ialah mengingatkan orang yang sedang sakit, agar ingat kepada tauhid dan itu memang berpautan dengan kalimat syahadat. Menurut Syeh Muhammad Arsyad Al Banjari seorang tokoh madhab Syafi’I dalam kitabnya Sabilul Muhtadin (jalan orang-orang yang mendapat hidayah) tidak di sunahkan menambah kalimat la ilaha illa Allah dan kalimat Muhammad Rasulullah saw karena tidak ada hadits yang menerangkan hal tersebut. Lagi pula yang ditalqin itu adalah orang Islam sehingga tidak diperlukan tambahan tersebut.
Macam macam talqin.
Adapun cara mentalqinkan, menurut madhab Al Syafi’i dan sejumlah ulama lainnya adalah antara lain sebagai berikut :
(1). Dilakukan dengan suara yang lemah lembut,
(2). Tidak mendesak dan memaksakannya untuk mengucapkan kalimat syahadat,
(3). Tidak dalam bentuk menyuruh: “katakan laa ilaha illa Allah, tetapi cukup disebut saja kalimat itu sekadar didenagr oleh si sakit agar ia sadar dan dengan kemauannya sendiri ia mengucapkannya,
(4). Jika ia sakit sudah mengucapkan kalimat syahadat itu sekali, jangan diulangi lagi, kecuali jika ia mengucapkan kalimat lain sesudah itu. Yang diusahakan adalah akhir perkataan yang diucapkan didunia adalah kalimat tauhid, sebagaimana tujuan dari talqin;
(5). Orang yang mentalqinkan seyogyanya bukan orang yang akan mewarisi harta peninggalan si sakit dan bukan pula orang yang dengki padanya atau musuhnya;
(6) Jika tidak ada orang yang hadir menjelang ajalnya itu selain dari ahli waris, orang yang dengki atau musuhnya, maka yang mentalqinkan sebaiknya salah seorang dari ahli warisnya, dan yang dipilih adalah ahli waris yang paling sayang kepadanya, demikian juga jika yang hadir hanya calon-calon ahli waris.
Talqin kepada orang yang sudah meninggal dunia.
Disamping talqin diberikan kepada orang yang akan meninggal dunia, sebagian ulama ada pula yang berpendapat bahwa talqin yang dilakukan untuk memberikan tuntunan kepada orang yang sudah meninggal dunia ketika mayatnya baru dimasukkan kedalam kubur. Menurut Prof Dr Hamidullah (Guru besar Ilmu-ilmu ka Islaman dan salah seorang anggota pusat kebudayaan Islam di Paris), hal ini disebabkan orang Islam percaya bahwa orang yang meninggal dunia akan didatangi oleh dua malaikat didalam kuburnya. Dua malaikan ini mengajukan beberapa pertanyaan kepada mayat, karena itu setelah mayat dikuburkan ada orang yang membacakan sebuah naskah (talqin) yang berisi tuntunan kepada mayat dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan malaikat itu.
Diantara isi talqin ini yang terpenting adalah pernyataan (sebuah jawaban atas pertanyaan malaikat) .
Dalam pertanyaan itu مَن رَبُّكَ ؟ siapa Tuhan mu ? . jawabnya adalah اَللهُ رَبِّي Allah Tuhanku .Pertanyaan kedua ما دِيْنُكَ ؟ Apa agamamu ?, maka jawabnya adalah اَلاِسْلاَمُ دِيْنِي Islam agamaku, Pertanyaan ketiga مَنْ نَبِيُّكَ ؟ Siapa Nabimu ? , maka jawabnya adalah مُحَمَّد رَسُوْلَُالله نَبِيِّ Rasulullah adalah Nabiku. Pertanyaan keempat adalah مَاْ كِتَاْبُكَ ؟ Apa Kitabmu ? .maka jawabnya adalah اَلْقُرْاَنْ كِتَاْبِي Al Qur’an Kitabku . Pertanyaan kelima مَاْ قِبْلَتُكَ ؟ Apa Kiblatmu ? .maka jawabnya adalah بَيْتُ اللهِ قِبْلَتيِ Baitullah Kiblatku .Pertanyaan keenam مَن اِخْوَاْنُكَ ؟ siapa saudara-saudaramu ? maka jawabnya adalah اَلْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَاْنيِ semua mukminin adalah saudaraku .
Kemudian ditutup dengan ayat Al Qur’an surat Al Fajr ayat 27
يَاْ أَيَّتٌهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّة اِرْجِعِي اِلَى رَبِّكِ رَاْضِيَةً مَرْضِيََةً فَادْخُلِى فِى عِبَاْدِى وَادْخُلِى جَنَّتِى
“Hai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridoi Nya ,Maka masuklah kedalam jama’ah hamba-hambaKu dan masuklah kedalam surgaKu” .
Dasar hukum yang dilakukan untuk mentalqin ini adalah Hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Abu Sa’id al Hudri diatas. Didalam Hadits itu disebutkan لَقِّنُواْ مَوْتَاكُمْ “talqinkanlah mayat-mayatmu” .
Kata (lafadz) maotaa merupakan jamak dari mufrod mayat yang berarti orang yang sudah meninggal dunia. Ini merupakan makna hakiki (haqiqot) sedangkan maotaakum diartikan sebagai orang yang akan meninggal dunia (sekarat) yang merupakan arti majazy (kiasan). Sedangkan dalam kaidah disebutkan:
اَلأَصْلُ فِى الْكَلاَمِ اَلحَْقِيقَة yang asal /pokok dalam perkataan itu adalah makna hakikat. Oleh karena itu menurut pendapat ini hukum membaca talqin diatas kubur adalah sunah,tetapi pendapat ini ada ditentang oleh ulama lain. Menurut yang terakhir ini hadits riwayat Abu Sa’id al Khudri diatas harus diartikan dengan makna majazi, yaitu orang yang sudah kelihatan tanda-tanda akan meninggal dunia. Pendapat ini ditunjang oleh hadits riwayat Mu’adz bin Jabal yang menyebutkan: مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ “orang yang akhir kalamnya adalah akan masuk surga”., ini berarti orang itu masih hidup, bukan mayat, sebab orang mati tidak akan bisa bicara.
Miftahus Shudur.
Didalam kitab Miftahus Shudur halaman 12 diterangkanbahwa Rasulullah saw melakukan mentalqin sahabat baik sendirian maupun berjama’ah Adapun talqin yang berjama’ah disebutkan bahwqa Syaddad bin Aus berkata : pada suatu waktu kami ada didekat Nabi saw, kemudian beliau bertanya “adakah orang lain?” yakni ahli kitab yang lain, aku menjawab “tidak ada” kemudian beliau menyuruh mengunci pintu lalu ditalqinkanlah لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ kepada kami , kemudian Nabi berdo’a.
اَلحَمْدُ للهِ اللهُمَّ اِنَّكَ بَعَثَنِى بِهَذِهِ الكَلِمَةِ وَوَعَدْتَنِى عَلَيْهَا الْجَنَّةَ وَاِنَّكَ لاَتُخْلِفُالْمِعَاْدَ
Kemudian beliau bersabda: “Hanyalah kamu sekalian diberi khabar gembira bahwa Allah swt telah memberikan ampunan kepada kalian”.
Adapun talqin yang seorang diriwayatkan oleh Yusuf al Kaoroni dan oleh yang lainnya dengan sanad yang shohih bahwa Ali bin Abi Tolib ra meminta kepada Rasulullah saw sebagai berikut:
دُلَّنِى عَلَى اَقْرَبِ الطُّرُقِ اِلَى اللهِ وَاَسْهَلِهَا عَلَى عِبَاْدِهِ وَاَفْضَلِهَا عِنْدَ اللهِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صلعم عَلَيْكَ بِمُدَاوَمَةِ ذِكْرِ اللهِ. اَفْضَلُ مَا قُلْتُ اَنَا والنَّبِيُّوْنَ مِنْ قَبْلِى لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ ولّو اَنَّ السَّمَوَاْتِ السَّبْعِ وَالاَْرَضِيْنَ السَّبْعِ فِى كَفَةٍ وَلاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ فِى كَفَةٍ لَرَجَحَتْ بِهِنَّ .
“Tunjukkanlah aku jalan menuju Allah swt yang terdekat,dan paling mudah bagi hamba-hambaNya serta paling afdol menurut Allah .Nabi bersabda kamu harus mudawamah dzikrullah .Ucapan yang paling afdol yang aku ucapkan dan oleh Nabi-Nabi sebelum aku ialah LA ILAHA ILLA ALLAH, andaikan langit yang tujuh beserta bumi yang tujuh ada disebelah (ditimbang) timbangan dan LA ILAHA ILLA ALLAH ada disebalah (ditimbang) timbangan, maka LA ILAHA ILLA ALLAH masih lebih berat”.
Kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa tidak akan terjadi qiyamat selama diatas bumi ini masih ada yang membaca LA ILAHA ILLA ALLAH .Kemudian Ali bin Abi Talib berkata:” bagaimana aku berdzikir ya Rasulallah ? “ lalu Nabi saw menyuruh agar Ali memejamkan matanya, lau mengucapkan LA ILAHA ILLA ALLAH tiga kali, dan Ali menirunya.
By Abu Bakar Bin Ahmad Mansor
(S.Kom.I., C.St., CH., CHt., NNLP.,)